Buletin Agen

Istana ini adalah untuk menginformasikan segala sesuatu yang terjadi di Agen Media cetak di Indonesia, khususnya di Jabodetabek. Dengan BA ini, diharapkan komunikasi yang tersumbat selama ini dapat mengalir kembli sehingga para Agen akan merasa nyaman melaksanakan profesinya

Saturday, September 09, 2006

KITA LEBIH BODOH DARI ZAMAN SOEHARTO

KITA LEBIH BODOH DARI ZAMAN SOEHARTO
Oleh Laris Naibaho
Serba takut, dan bayang-bayang bui seakan dekat ke mana kaki melangkah. Nuansa militerisme menyebar sampai ke pelosok desa.
Jangankan untuk berorasi dekat istana, untuk sekedar membuat lirik lagu hanya untuk dikonsumsi keluarga sendiri, bisa jadi urusannya panjang, karena akan berurusan dengan aparat, yang mengatasnamakan hukum dan menjaga martabat Pancasila.
Di Zaman itu, atribut-atribut yang menyimbolkan keperkasaan fisik, tumbuh pesat, sehingga kampus yang tadinya menjadi pabrik pengetahuan, menjadi produsen segala macam ilmu kekerasan, yang biasanya dipromosikan lewat menwa-menwa yang berwajah seram-seram, yang tidak segan-­segan menebarkan teror kepada para mahasiswa yang mencoba mengkritisi pemerintah.
Hukum yang diproduksi lewat Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sana dengan pemerintah, henya merupakan symbol. Kendati ada pasal­-pasal di UUD '45 yang "Menjamin" Kebebasan menyampaikan pikiran dan perasaan, tetapi siapa sangka, kebebasan itu sebenarnya tidak ada. Buktinya, pada saat itu, pers dirundung ketakutan, dan bahkan berada pada suasana ketakutan, dan setiap kali harus mengalah kepada telepon penguasa, yang kalau tidak, kecuali pencabutan SIUPP, Pemrednya bisa setiap saat dipanggil ke Puspen ABRI, lalu digiring ke hotel prodeo.
Beruntung, masyarakat tidak tinggal diam. Meski dengan perjuangan yang sungguh berat, dan dengan mempertaruhkan darah dan nyawa, zaman yang penuh dengan ketakutan itu ditebas. Dan lahirlah Orde Reformasi, yang menjadi symbol perjuangan untuk menegakkan supremasi hukum. Artinya, hukum diharapkan akan menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat, dan atau didalam setiap bertindak, masyarakat Indanesia menggunakan hukum sebagai landasannya.
Berat memang. Karena aparat kita, Polisi, Jaksa, Hakim, dan termasuk Pengacara di dalamnya, belum cukup siap untuk memahami supremasi hukum. Soalnya itu tadi, di zaman Soeharto, hukum nyaris hanya sebuah symbol, dan baik Polisi, Jaksa, Hakim dan apalagi pengacara lebih banyak yang berpraktek sebagai broker hukum dan bukan sebagai penegak hukum, maka jadilah hukum meniadi komoditi yang bisa diperjual-belikan.
Berangkat dari persoalan tersebut, maka barangkali atau tidak, pernyataan seorang petinggi pers, yang lebih suka mengirimkan debt collector untuk menagih piutang macet dari seorang agen menjadi sah adanya. "Bagaiamana Bung, karena kalau saya laporkan ke polisi, maka akan menjadi bertele-tele, dan barangkali saja, tagihan itu akan ludes untuk penegak hukum. Jadi lebih baik dengan jasa debt collector yang 'pasti berhasil' dan biayanya hanya 30 prosen dari jumlah tagihan."
Tetapi bukankah tindakan tersebut keliru. Bukankah dengan mengirim debt collector sebenarnya institusi pers di Indonesia secara keseluruhan menjadi tercoreng? Soalnya sangat jelas, ada sejumlah fakta, sebutlah hampir seluruh petinggi pers ini menolak adanya kekekerasan untuk menyelesaikan suatu masalah. Mereka sadar produk hukum kita sangat mampu untuk menyelesaikannya, dan apalagi, bukankah kalau pers meminta : Freedom From..., dan Freedom For..., seharusnya juga memberikan kepada mitranya, agar mereka : "Freedom from fear.."; dan bahwa mereka juga perlu dididik untuk memahami hukum, tetapi bukan hukum rimba. Dan bila pers Indanesia sangat ingin supremasi hukum ditegakkan, maka kata orang bijak, "Example is better than precept," Supaya apa? Supaya tidak munafik, yang artinya "Jangan di bibir begini, tapi di hati begitu."

Thursday, July 06, 2006

SanaSini : Aneh Tapi Nyata

SanaSini
Oleh Dicky EA

Nggak Ada Sirkulasinya

Secantik apapun seorang wanita, kalau dia hidup sendiri, pasti tak ada yang memuji. Sebab itulah kita hidup bersama di dunia sama lain saling terkait dan saling membutuhkan. Demikian juga seorang pemimpin perusahaan penerbitan pers, tak mungkin menjalankan usahanya sorangan wae. Dia butuh asisten-asisten yang dapat melaksanakan seluruh pekerjaannya. Jadi untuk sebuah penerbitan pers harus mempunyai struktur organisasi yang benar-benar ada personilnya, jangan hanya ada di atas kertas saja.

Ada sebuah bagian dalam industri pers, yaitu bagian sirkulasi yang menjembatani pihak perusahaan dengan pihak luar (Agen) untuk mengedarkan produknya. Nah hari gini, ternyata masih ada personil sirkulasi meninggalkan posnya sehingga ada Agen yang kesulitan menghubungi untuk urusan sirkulasi. Kalau seperti itu terus menerus, maka kepercayaan agen terhadap sirkulasi akan menurun. Lalu gimana Donk.


Serupa, Tapi Harga Tak Sama


Dimanapun adanya, apabila sebuah produk yang sama, relatif harganya sama. Kalaupun berbeda, pasti tidak terlalu jauuuuuuh… Misal motor Honda Karisma, di Indonesia pasti harganya seragam. Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Artinya harga sebuah surat kabar yang sama dengan isi dan tanda baca yang sama tetapi dijual berbeda oleh penerbitnya. Penerbit plin plan, Busyet …. Agen tertipu lagi. Slogan Carefore “kalau harga kami kemahalan, akan kami kembalikan tiga kali selisih harganya” Lalu selisih harga surat kabar yang mencapai 150 %, gimana cara mengclaimnya? Busyet .. Agen tertipu lagi.


Jadilah Pelanggan Baru


Zaman sekarang memang zaman sulit. Sulit cari kerja, sulit berusaha, sulit cari pinjaman, juga sulit melunasi pinjaman. Perekonomian yang lesu membuat semua sector jadi kuyu. Yang belum kerja, betapa sulitnya mencari pekerjaan. Tetapi yang sudah kerja juga stress mikirin dirinya, karena sewaktu-waktu perusahaan gulung tikar karena didemo karyawannya sndiri, bisa-bisa PEHAKA. Belum lagi dapat tekanan dari sang bos untuk mencapai target penjualan. Makanya para pemasar sibuk mencari kiat-kiat menerobos pasar. (Lho, pasar kok mau diterobos) Karena sudah mumet, maka munculah program gelisah (geli nggak basah) yaitu iming-iming bonus ini dan itu untuk calon pelanggan baru. Pelanggan baru tentu enak tenan. Sedangkan pelanggan yang sudah puluhan tahun nggak pernah diberi sebuah ballpointpun. Maka mari kita berhenti berlangganan, lalu menjadi pelanggan baru dengan hadiah yang cukup lumayan. Setelah habis masa promosi, mari berhenti berlangganan dan mulai lagi menjadi pelanggan baru. Ah lumayan bonusnya. Yah .. bisa juga akal-akalan.